Cerpen Pahlawan. “Paman yakin tidak mau diantar?” Aku bertanya meski kusadari pertanyaan itu barangkali sekadar basi-basi.
“Ndak
usah repat-repot, To, … Paman masih kuat jalan sendirian, kok. Dulu,
semasa perang Agresi Kedua Paman terbiasa berjalan kaki keluar masuk
hutan, naik turun gunung, mengirim pesan rahasia untuk para gerilyawan.”
“Itu ‘kan dulu, sekarang Paman sudah …”
“Jangan bilang ‘tua’, Mantho, … Purnawirawan!” selipnya cepat.
“Iya, ya, … maksudku begitu, Paman.”
Sungguh
menggelikan. Tak mau disebut ‘orang tua’ namun rambut di kepalanya
seratus persen telah beruban. Kulitnya pun keriput membungkus tulang.
Dan yang turut mempertegas ketuaannya adalah gigi di mulutnya ternyata
tinggal empat buah. Dua di atas dan sisanya melekat di email bawah.
Sehingga bila sedang mengunyah makanan, atau kebetulan Sang Purnawirawan itu tertawa, maka akan tampak lesungan besar di belahan pipinya yang tak lagi mengencang.
Sungguh
pun demikian, diusianya yang telah melewati kepala tujuh, Paman masih
terlihat bugar dan energik walau gerak langkah kakinya mulai melambat.
“Rencananya mau kemana, Paman? ke rumah Utik?”
“Pulang
ke Depok saja, … naik kereta. Hampir setahun ini tidak pernah numpak
sepur lagi. Terakhir kali waktu Paman diundang ke Istana bersama teman –
teman veteran,” katanya sambil melipat beberapa potong pakaian lalu
dimasukkan ke dalam tas ranselnya.
“Apa tidak sebaiknya naik bis saja?”
“Macet! … bikin kepala mumet.”
Setelah
rapi-rapi sebentar, Paman mulai melangkah keluar rumah. Aku
menguntitnya di belakang. Diam-diam kuselipkan lembarang uang di kantong
ranselnya. Sengaja kulakukan itu karena Paman sudah pasti akan menolak
uang sangu pemberianku. Katanya, ia merasa sudah cukup dengan uang
pensiun yang diterimanya tiap bulan. Tetapi aku tak mau begitu saja
membiarkan orang tua, ‘eh maksudku Sang Purnawirawan itu, berpergian
dengan uang sangu seadannya.
“Oh ya, To … seandainya nanti istrimu melahirkan bayi laki-laki, boleh Paman berpesan?”
“Pesan
apa yah, Paman?” tanyaku penasaran. Tak biasanya Paman meninggalkan
pesan bila hendak pamit. Apalagi menyangkut si Jabang bayi yang
dikandung istriku.
“Paman belum pernah lakukan ini pada siapapun,
seumur hidup, … jika kamu tidak keberatan dan mengijinkan, berilah bayi
laki-laki itu dengan nama: S-U-D-I-R-M-A-N …”
“Sudirman?!”
“Ya, Sudirman! … seorang pahlawan besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Paman sangat mengagumi beliau.”
“Bagaimana jika bayinya seorang perempuan?”
“Paman yakin, … janin yang dikandung istrimu itu bocah lanang,” ujarnya mantap. Aku cuma senyum sumir.
Segera kupanggil becak yang melintas di depan kami.
“Paman naik becak saja ke stasiun Manggarai.”
“Baiklah, To … sampaikan salam untuk istrimu. Jangan lupa pesan Paman yach?”
“Selalu kuingat, Paman.”
Aku
masih saja berdiri di mulut gang mengiringi kepergian orang tua,
maksudku Sang Purnawirawan itu, sebelum akhirnya becak yang ditumpangi
Paman menghilang di jalan menikung.
***
Ketika masih kanak-kanak kami mengira Paman Radji bagian keluarga besar dari Ayah ataupun Ibu. Ternyata tidak.
Menurut
cerita Ibu, Paman Radji dulu seorang ambtenaar pada sebuah Jawatan Pos
dan Giro. Karena pecah perang, ia tinggalkan pekerjaan itu dan ikut
berjuang bersama Laskar Kelabang Hitam, semacam pasukan underground
action. Paman Radji bertugas sebagai kurir menyampaikan pesan-pesan
rahasia kepada beberapa pejuang yang tinggal di hutan-hutan, lembah atau
gunung.
Suatu hari Paman terkena mortir. Lukanya cukup parah. Hampir
saja nyawanya tak tertolong jika Ayah tak segera mengobati lukanya.
Sampai sekarang luka itu masih membekas di paha kanannya.
Sejak saat
itu Paman dan Ayah mulai merenda persahabatan, menjalin tali
silahturahmi. Mungkin merasa berhutang budi, Paman begitu perhatian pada
keluarga kami. Setiap ada kesempatan kami selalu dikunjungi, dibawakan
oleh-oleh untukku serta dua adik perempuanku. Bahkan saat kami dewasa
dan kedua orang tuaku telah meninggal dunia, Paman Radji-lah yang paling
berjasa menyokong kehidupan kami. Selain membantu dalam urusan biaya pendidikan, beliau juga berperan sebagai Wali ketika kami menikah.
Sayang,
pada saat Paman datang berkunjung kebetulan isteriku tidak berada di
rumah. Padahal, istriku paling senang jika Paman datang. Suasana rumah
akan bertambah ramai, meriah, dan lebih semarak.
Isteriku tentulah
betah duduk berjam-jam mendengar kisah perjalanan hidup Paman Radji.
Kisah tentang pertempuran heroik di Ambarawa sampai masalah
perkawinannya yang berujung tragis. Tiga kali menikah tiga kali pula
kehilangan istri. Dua diantaranya karena kematian, dan yang terakhir
diceraikan setelah diketahui berselingkuh.
Terkadang istriku bisa
berubah menjadi melankolik bila sudah memasuki sisi pribadi Paman yang
hidupnya sebatang kara; tidak beranak dan sanak saudara. Kini Paman
menetap di Depok ditemani oleh bujangnya yang diadopsi sewaktu berumur
enam tahun.
Kunjungan Paman Radji ke rumah kali ini terasa aneh.
Di luar kebiasaan. Muncul tiba-tiba lalu minta pulang secara mendadak,
sebagaimana kedatangannya yang tanpa diduga-duga. Biasanya Paman
menginap dahulu barang semalam. Setelah itu barulah berkeliling
mengunjungi Utik dan Ipah, kedua adikku yang tinggal di Bekasi.
Adakah
sesuatu yang membuat dirinya bersikap begitu? Entahlah, yang pasti aku
telah berusaha semaksimal mungkin menyambut kedatangan Paman. Memang
sempat kutangkap ada gurat kecewa saat kukatakan bahwa istriku kini
berada di rumah Ibunya menunggu masa persalinan.
“Begitulah perempuan, To! … selalu balik ke ibunya bila hendak melahirkan.”
“Mungkin karena anak pertama, Paman.”
“Mungkin juga, …” sahutnya mendesah.
***
Kuambil
keputusan untuk cuti kerja selama seminggu, sehari setelah istriku
melahirkan. Benarlah kata Paman, ternyata kami dikaruniai seorang bayi
laki-laki. Ibu mertua bilang bayinya mirip dengan rupaku. Hidung, mata,
serta aliasnya persis sama.
Semula aku bermaksud ingin memboyong segera istri serta bayinya pulang ke rumah. Namun Ibu mertua tegas-tegas melarangnya.
“Pamali ! … biarkan dulu istirahat di rumah Ibu. Kamu boleh bawa pulang ke rumah jika sudah empat puluh hari.”
“Selama itu?”
“Ya, selama itu! Kalau tidak, anakmu nanti kena sawan.”
“Sawan?!”
“Dasar anak muda sekarang, … Iya, sawan! ketempelan mahluk halus, mengerti?”
Aku diam saja. Jauh di lubuk hati sudah pasti aku sangat kecewa dengan keputusan itu.
“Mas,
… sudah dengar kata Ibu?” tanya istriku berwajah sumringah. Aku duduk
di tepi rajang, mengamati si buah hati yang tengah tertidur pulas,
sambil membelai-belai rambutnya yang lebat.
“Iya, aku sudah dengar. Ibu melarang kamu pulang ke rumah, juga si kecil. Pamalilah, sawanlah ….”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Ibu dan aku sepakat menamakan bayi kita : ADI MANTHOPUTRA! Bagaimana, Mas? Bagus ‘kan?”
“Cukup bagus, tapi, ….” mendadak aku teringat pesan Paman. Istriku tampak bingung melihat perubahan air mukaku yang keruh.
“Tapi kenapa, Mas? Ada yang salah?”
“Aku hampir lupa, … sebelum pulang Paman sempat titip pesan untuk kita.”
“Pesan apa?”
“Paman berkeinginan agar anak kita diberi nama : Sudirman.”
“Kalau begitu, kita bicarakan saja pada Ibu,” usulnya.
Aku
hendak mengatakan jangan tetapi pintu kamar terlanjur terbuka, dan
muncullah Ibu mertua. Tangannya penuh membawa popok, bedong, bedak dan
selimut.
Selagi Ibu mertua dan istriku sibuk mengganti pakaian si
Kecil, aku beranjak mencoba menghubungi Paman di Depok melalui ponsel.
Tak ada jawaban. Aneh, … malam-malam seperti ini biasanya mereka kumpul
di rumah. Kemana perginya Paman, yah? dan Sugeng, anak angkatnya itu?
“Mantho! …. Ibu tidak setuju dengan nama yang kamu usulkan itu,” cetus Ibu mertua sekonyong-konyong.
“Bukan aku, Bu. Paman Radji yang memberikan nama.”
“Dia
atau kamu, … tolong jangan ganti nama cucuku ini. Lagi pula, untuk
memberi nama seseorang perlu hitung-hitung, To! … lihat dulu hari
kelahirannya, pasarannya apa, cocok atau tidak. Ibu khawatir, anakmu
akan sakit-sakitan bila tidak cocok dengan nama itu.”
Sekali lagi aku
hanya diam saja. Membiarkan Ibu mertua memperkosa hak-hak yang
seharusnya menjadi bagianku. Rupanya aku harus banyak mengalah di rumah
mertua.
“Hmm, … bau apa ini? Parfum apa yang kamu pakai, Shinta?”
“Biasa, Mas. Kenapa?”
“Kok wanginya seperti melati. Kamu cium juga bau ini?”
Istriku
menggelengkan kepala. Namun aku banar-benar mengendus aroma melati
menusuk-nusuk hidungku. Terasa begitu dekat dan sangat wangi.
Tepat ketika itu ponsel di saku berdering. Ternyata dari Utik, adikku yang tinggal di Bekasi.
“Ada apa, Tik?”
“”Mas, cepat datang ke Depok. Paman sakit, dan sekarang di rawat di Bhakti Yudha. Sebaiknya malam ini juga!”
Penekanan diakhir kalimat itu membuat hatiku resah. Sakit? pantas telepon di rumah tidak ada yang mengangkat.
Istriku
hanya memandang penuh heran sewaktu aku berkemas-kemas. Rasa herannya
memuncak begitu aku telah siap untuk berangkat pergi.
“Aku harus ke
Depok malam ini, Shinta. Paman sakit. Mungkin Paman sedang menanti
kehadiranku disana,” ucapku pelan, nyaris sebuah bisikan. Mendengar
kabar itu istriku terlonjak kaget.
“Mas, ….”
“Sudahlah, kamu nggak usah berpikir macam-macam …”
Percuma
aku menenangkannya, toh air mata itu tetap saja meluncur deras.
Menangis sambil memeluk tubuhku erat-erat. Aku memahami perasaan
istriku. Memang ia sangat dekat dengan Paman.
“Bila sudah kehendak
takdir, maukah kamu menunaikan pesan Paman? Keinginan Paman sederhana
saja, kamu bujuk Ibu untuk menerima nama yang diusulkan Paman. Supaya
adil, bagaimana nama-nama itu kita gabungkan sehingga menjadi … ADI
MANTHOPUTRA SUDIRMAN! …. bukankah itu lebih bagus?”
“Baiklah, Mas … jika itu keinginan Paman.”
Aku tersenyum puas, lalu kukecup keningnya penuh mesra.
Segera
aku menyelinap pergi diam-diam. Sengaja aku tidak berpamitan pada Ibu
mertua. Aku tak mau dengar lagi petatah-petitihnya. Aku hanya berharap,
istriku mampu melunakkan sikap kolot ibunya, dan mau mengerti pesan
Paman yang mungkin saja (mudah-mudahan itu bukanlah pesan terakhirnya)
merupakan tanda pengabdian pada keluarga kami.
Sumber : http://zeta.indosastra.com
Minggu, 22 Agustus 2010
Cerpen Pahlawan
Posted by kamarpanasblog on 22.30
0
komentar
Leave a Reply