google-site-verification: google0333507094b41eea.html ~ dozh suntana

Rabu, 25 Agustus 2010

Posted by kamarpanasblog on 13.47 0 komentar

Tue, 27 May 2008 15:08:16 -0700

SASTRA SUNDA
Enam Belas Tokoh Sastra Sunda Berpengaruh

Sejauh dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda
yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh,
penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya
Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda
(1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan
Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip
Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun
yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa
Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.

Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan
kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya,
sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang
mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan
dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak
untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun
didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar
pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.

Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh.
Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman
kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun
1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000
bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain
itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru
disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya
memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa
mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977
Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan
daerah Sunda.

Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada
paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul)
dan prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan
pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan
salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat
jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa
sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku
bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa
sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman
pemerintah kolonial.

Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan
Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang
banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel
pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu
ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang
dunia.

Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak
menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak
bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama
aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang
karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat
satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya
yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai
sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar
novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan
yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal
dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.

Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal
yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda
karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka.
Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra
Sunda, terutama dalam penulisan novel.

Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir
1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G.
Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap
G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa
Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama
dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit
di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog
antartokohnya terasa hidup.

Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah
Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang
wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama
terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini
banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda.
Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya,
baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra
Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.

Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi
(1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda.
Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar
tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama
kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda
lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak
menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis
sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962)
merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra
Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua
berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji
merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara
sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh
dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.

Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat
Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis
naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap
dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut
sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita
pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul
pertama kalinya di layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah
judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat
dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan
sekali sampai 110 episode.

R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen,
longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998)
mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama
yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang
paling kuat adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para
Arwah". R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori
berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan
Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh
berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.

Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan
Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra
Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan
pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya,
di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung
Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang
(1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia
penerbitan. Namun pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara
lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan
Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I,
dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk
sastrawan berbahasa Sunda.

Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda.
Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan
Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun
banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah
Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film.
Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas
kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik
sastra.

Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana
(1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi
sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa,
maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang
seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah
menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun
banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun
kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku
pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra
Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.

Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda
pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan
penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan
prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama
mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén
(1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai
tokoh akademisi dalam sastra Sunda.

Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang)
dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang
sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat
sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi
punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan
antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai
menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.

Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang
kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit
arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita
dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S.,
keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di
tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan
anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak
Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib
untuk dideklamasikan.

Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut,
beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana
untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa
(1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa
(1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu
Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini
Kartini untuk jasa (2003).

Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh.
Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki
Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa,
Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ,
dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan?
Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra
Sunda. ***

sumber : http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg14849.html


0 Responses so far:

Leave a Reply

Related Posts with Thumbnails

Search-form

free counters

SELAMAT DATANG SOBAT